Selasa, 26 Februari 2013

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan Nasional

Oleh: M. Nurul Amin (Mahasiswa pascasarjana program studi ilmu politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) Seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat akan arti penting lingkungan hidup, nilai-nilai budaya, humanisme dan hak-hak asasi manusia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin memiliki arti tersendiri di masyarakat. Sesuai dengan namanya (walaupun istilah LSM tidak tepat, karena kurang substansif dan merupakan "istilah akomodatif' terhadap keinginan penguasa dibanding Non-Government Organizations-NGOs), LSM umumnya bertujuan mensejahterakan masyarakat, dalam arti memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bersama. Kebutuhan tersebut bisa berarti pendidikan, tempat tinggal yang layak, keadilan, lingkungan yang alami, dan dalam skala tertentu termasuk pula persoalan gender. Jenis LSM sendiri setidaknya dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, LSM dikalangan aktivis sering dikatakan LSM pelat merah, yakni LSM yang dibentuk atas inisiatif pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pada level tertentu. Kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan yang umumnya berada pada kelas menengah, seperti intelektual, mahasiswa ataupun sejumlah orang yang concern pada kesejahteraan masyarakat yang tak terjangkau tangan-tangan negara (pembangunan!) dan pada level paling rendah adalah kalangan kelas bawah. Selain kedua jenis itu, ada yang menambahkan jenis ketiga, yakni LSM yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional. Jenis LSM yang pertama perannya lebih banyak pada dukungan atas program yang dicanangkan pemerintah. Artinya, LSM ini memiliki keterikatan yang cukup dekat dengan pemerintah. Setidaknya dalam soal pendanaan atau dalam skala tertentu otoritas dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam kelompok ini yang terlihat perannya antara lain PKK dan Dharma Wanita. Pada jenis kedua, umumnya mengambil jarak dengan pemerintah (namun bukan berarti oposisi) dan memiliki independesi tinggi, sementara sektor pendanaan banyak disokong oleh organisasi atau yayasan tertentu di luar negeri. Umumnya lSM dalam kelompok ini melontarkan kritik pada penguasa (baca: pembangunan ) dengan dasar fakta dan analisis kritis yang seringkali disertai solusi rasional dan banyak bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan. Satu hal yang patut dicatat, LSM golongan ini seringkali melontarkan pandangan kritis yang bernada 'sumbang' terhadap pemerintah, baik itu pada lingkup nasional ataupun pada 'kesempatan' berbicara di forum luar negeri. Akibatnya banyak kalangan menilai LSM (minimal individu-individu yang menjadi anggotanya) golonga ini 'beroposisi' dengan pemerintah dan sudah barang tentu kerap mendapat sorotan khusus dari penguasa. LSM yang cukup memiliki nama dari golongan ini antara lain LBH, Walhi dan berbagai jenis LSM yang mengkonsentrasikan diri pada persoalan hak asasi manusia. Pada skala lain, ada LSM dari jenis ini yang bersifat akomodatif terhadap pemerintah, dan ada pula yang lebih banyak berkecimpung dalam bidang yang menjadi lahan garapannya. Dalam kelompok ini Muhammadiyah, Taman Siswa dan berbaai organisasi lainnya merupakan contoh relevan. Sedangkan untuk kelompok ketiga, lebih banyak bersifat kekeluargaan dan mengambil jalan musyawarah bersama dalam menyelesaikan persoalan, seperti halnya rembuk desa di pedesaan Jawa. Di bawah regim Orde Baru, dimensi ekonomi diletakkan pada posisi terdepan. Segala kebijakan yang diambil umumnya menuju ke arah yang satu ini. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat lewat proses pembangunan ekonomi. Berbagai regulasi ekonomi dikeluarkan, lobby untuk memperoleh bantuan dana dari luar semakin digencarkan, sementara persoalan sumber daya manusia ditingkatkan dengan pengiriman sejumlah individu untuk mempelajari ilmu ekonomi modern di luar negeri (umumnya negara-negara Barat), sumber daya alam dimaksimalkan fungsinya, dan akhirnya segenap pranata sosial dan politik ditempatkan pada posisi yang mendukung pembangunan ekonomi. Dalam waktu relatif singkat, pembangunan ekonomi yang bercirikan kapitalisme yang dijalankan tampak mengubah tingkat kesejahteraan rakyat (setidaknya dari indikator GNP), tingkat pendidikan rakyat meningkat pesat, kota-kota semakin berkembang menjadi besar bahkan berskala metropolis, kemajuan teknologi pun berjalan sejajar. Pendek kata segenap prasarana dan sarana sosial `terlengkapi'. Namun, di satu sisi pembangunan itu sendiri menampilkan ketimpangan yang nyata. Pembangunan ekonomi menimbulkan efek konglomerasi yang mengakibatkan semakin menajamnya kesenjangan sosial. Aset ekonomi (produksi) sebagian besar dikuasai oleh segelintir orang saja, praktek kolusi/monopoli dan koneksi dalam dunia usaha semakin meluas. Sementara elit politik dan aparat birokrasi banyak memberi keuntungan kepada kalangan tertentu dibandingkan fungsi yang seharusnya yaitu melayani kepentingan masyarakat. Di sisi lain, penggusuran atas nama pembangunan semakin merajalela, dalam beberapa kasus hak-hak rakyat (termasuk di dalamnya buruh/pekerja) diabaikan, lingkungan hidup seringkali berubah menjadi bertolak belakang. Akibatnya mudah diterka, banyak terjadi benturan antara pemerintah dan rakyat, antara pengusaha dan pekerja, antara kaum agamawan dan kaum modernis, bahkan adakalanya antara manusia dan dirinya sendiri. Benturan-benturan antaraktor akibat ketimpangan pembangunan tersebut kerap membuat keadaan emnjadi `tak menentu' bahkan dalam skala tertentu menambah persoalan ketidakadilan. Tak pelak lagi ketimpangan sosial akibat proses pembagunan dan berbagai aspek lain yang mengikutinya memunculkan berbagai persoalan pelik. Solusi persoalan ini dalam strata bahwa tampaknya cukup sulit untuk diselesaikan oleh penguasa. Setidaknya ada dua hal yang menjadi kendala utamanya. Pertama, sebagai akibat langsung dari proses pembangunan yang `kurang mengakar' maka kesadaran rakyat terhadap politik pembangunan relatif kecil. Akibatnya mudah terjadi benturan antara penguasa (pelaksana pembangunan) dengan masyarakat. Kedua, secara prinsipial, sebagian besar masyarakat lebih menginginkan bentuk konkret dari proses pembangunan. Artinya, masyarakat `pengorbanan' yang diberikan sesuai dengan apa yang didapatkan dalam bentuk yang nyata. Pajak, hasil bumi, tanah garapan dan sebagainya di suatu daerah kerap diparalelkan dengan pembangunan di satu daerah/lokasi itu sendiri. Pada titik kritis inilah LSM memiliki arti penting sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai `alat kontrol' dalam proses pembangunan LSM sendiri muncul karena kesadaran akan arti penting nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab pembangunan. Bila demikian halnya LSM memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan nilai asasi manusia yang didudukan sejajar dengan proses pembangunan. Sementara itu kedekatan LSM dengan rakyat bawah memungkinkan melihat persoalan dari sisi yang berimbang, pada tahap lanjut LSM dapat membawanya pada pemerintah beserta alternatif solusi yang memadai. Dalam bentuknya yang demikian, LSM menjadi kekuatan sosial politik yang memungkinkan proses pembangunan berkelanjut dalam proporsi yang seharusnya dan bernuansakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, jaringan (informasi) diantara sejumlah LSM karena faktor dana dan `kesamaan' kepentingan? dalam dan luar negeri yang relatif kuat bisa menjadi sandaran dalam menilai proses pembangunan yang sedang berjalan. Tanpa menafikan adanya sejumlah LSM yang dalam skala tertentu menggunakan lembaga tersebut untuk kepentingan politik dan `menyudutkan' penguasa, yang terpenting adalah bagaimana menciptakan iklim yang kondunsif bagi keikutsertaan LSM dalam proses pembangunan. Artinya, terciptanya keserasian antara penguasa, pelaksana pembangunan (aparatur negara) dan LSM yang berjalan pada rel yang sama dengan visi yang berbeda untuk kepentingan bersama. Bila demikian halnya, yang perlu dikembangkan adalah suasana dialogis, keterbukaan, bukan sikap saling curiga/ tuduh atau mungkin kontrol lewat regulasi yang tidak fair. Kalau itu yang terjadi, apapun perilaku suatu LSM atau apapun regulasi (Keppres dsb) yang ada tidak menjadi persoalan selama masih bergerak pada `kereta' yang sama, pembangunan yang berkemanusiaan. (Harian Umum Bisnis Indonesia, 6 Desember 1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar