Senin, 12 November 2012

Kutipan Jurnalis Walentina

Basmi Korupsi? Basi, Ah!
Walentina Waluyanti – Nederland

Masih ingat berita ini? Pemulung itu menyeret gerobak yang membawa mayat anaknya. Meninggal karena muntaber. Lalu membopong mayat anaknya di atas KRL menuju tempat penguburan. Mana sanggup ia membayar mobil jenazah? Sebagai pemulung, syukur-syukur kalau bisa dapat Rp 10.000,- per hari. Ironisnya, yang menolongnya bukan orang mampu, tapi sesama orang miskin yang kebetulan berpapasan di jalan. Mereka urunan membantunya membeli kain kafan, dan bekal makan minum sekedarnya.
Psikolog Sartono Mukadis ketika itu menangis atas berita ini. Dikatakannya, masyarakat dan aparat pemerintah sudah tak peduli lagi pada sesama. Ini tamparan bagi rakyat Indonesia. Demikian pernah dilansir majalah Tempo dan berbagai media, beberapa waktu lalu.
Kejadian yang menggambarkan ketidakpedulian pada rakyat kecil itu, sekarang merembet juga pada ketidakpedulian yang tidak kalah fatal. Yaitu ketika orang masa bodoh, tidak lagi peduli, tidak lagi sadar seberapa mematikan ganasnya korupsi yang melebihi kanker itu. Orang hanya mengira ini kalimat bombastis, padahal ini nyata menggerogoti hidup dan kehidupan.
Sebuah kejahatan yang terus dipertontonkan, tidak akan lagi tampak sebagai kejahatan. Saya teringat kalimat menteri propaganda Nazi Jerman, Paul Joseph Goebbels, “Kebohongan yang terus menerus dikatakan, akan dipercayai sebagai sebuah kebenaran”.
Korupsi jahat? Ah, lebay...masak sih! Begitu, kata masyarakat yang mulai tak peduli. Menyedihkan melihat bagaimana sistem korup, bahkan mencuci otak generasi muda. Malah menganggap korupsi itu imbalan wajar dari pelayanan publik. Inilah sesungguhnya akibat terjahat dari korupsi. Mengubah mentalitas dan mengaburkan batas normatif. Akibatnya rakyat kecil yang melarat, semakin terjerat oleh kemelaratan tiada akhir.
Membasmi korupsi? Siapa peduli? Basi, ah! Mendengarnya saja, masyarakat sudah telanjur apatis dan pesimis. Gejala ini tampak, ketika rakyat bereaksi, “Ah, mana bisa sih kita hidup tanpa korupsi?”. Atau rakyat mencari pembenaran penyimpangan birokrat korup dengan, “Ah, mana ada sih yang sempurna di dunia ini? Namanya juga manusia”. Pembenaran-pembenaran yang membuat pelakunya semakin tak punya rasa bersalah.
Kita misalkan saja peta perkorupsian seperti berikut ini. Seorang pemimpin menang dalam perolehan suara karena sokongan pengusaha besar. Duit dialirkan demi terpilihnya si pemimpin. Tapi....ada tapinya. Aliran duit itu bukannya tanpa syarat dan isyarat. Jika si pemimpin terpilih, ada tukar gulingnya. Yaitu adanya jaminan proteksi atas kasus ini dan kasus itu. Ada pembagian jabatan kepada para pendukung. Mesti ada jaminan tidak ada tuntutan di pengadilan untuk si A, si B dan terhadap “sang sponsor” sendiri. Politik tukar guling ini tidak terlihat oleh mata, tidak tercium, tidak terasa, tidak terdeteksi....tapi justru di sini letak keganasannya.
Segala sendi kehidupan rusak karenanya. Termasuk merusak kinerja pemimpin sendiri. Di dalam hati, ada niat baik. Tapi apa daya, ada jerat tak nampak yang melumpuhkan seluruh urat syaraf. Sesuatu yang tadinya berperan sebagai beking kuat, sekarang berubah menjadi monster menakutkan. Uang membuat segalanya menjadi mungkin, sekaligus menjadi tak mungkin. Mengundurkan diri karena mengaku gagal, belumlah menjadi budaya. Impeachment? Wah, ini final yang paling tidak diinginkan oleh pemimpin manapun.
Walau penegakan hukum kropos sana, kropos sini, pemimpin sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya terbebani transaksi politik dengan para kroni. Dengan kondisi ini, sungguh sulit menghentikan lingkaran setan korupsi. Dan si pelaku pelanggaran bisa menghunus pedangnya sambil lenggang kangkung, karena kartu truf ada di tangannya.
Kekayaan terhimpun di tangan yang kuat. Dan yang kuat itu, jelas bukan rakyat kecil. Rakyat sudah telanjur apatis, dan berpikir...ah, semua ini wajar saja. Korupsi tidak saja memelaratkan rakyat yang sudah melarat, tapi juga melahirkan pembodohan. Logika rakyat jadi putar balik.
Rakyat berpendapat, “Penguasa sudah selayaknya kaya raya. Namanya saja penguasa. Sudahlah, hormati pemimpin. Kalau jadi rakyat, jadilah rakyat yang baik. Ikuti apa kata penguasa”.
Coba kita tanya pada rakyat kecil. Mana mereka mengerti bahwa pemerintah itu adalah pelayan rakyat. Alih-alih memperjuangkan haknya, rakyat kecil malah nglokro...putus asa, pasrah, percaya bahwa nasib rakyat kecil memang sudah selayaknya miskin. Padahal memerangi kemiskinan dan memakmurkan rakyat adalah TUGAS UTAMA pemerintah. Ini tegas tercantum dalam Undang-Undang.

Indonesia itu unik. Peradabannya sejak jaman Majapahit, bukanlah peradaban ecek-ecek. Filosofi ajaran nenek moyang banyak mengandung nilai luhur. Lihat saja bangunan Borobudur. Arsitekturnya mencerminkan bagaimana sejak jaman primitif pun, nenek moyang kita sudah tampak jenius.
Belum terhitung ajaran agamanya. Orang-orang sudah menerima ajaran tentang baik dan buruk sejak kecil. Lalu di mana uniknya Indonesia? Uniknya, karena dengan segala kemuliaannya, toh, itu semua tidak banyak menolong Indonesia lepas dari cengkeraman manusia bermental korup. Ironisnya, para pelakunya justru orang-orang terhormat di jajaran tinggi di negara. Akibatnya jajaran bawah juga jadi merasa sah-sah saja mencontoh kelakuan atasan.
Karena kebetulan saya tinggal di Belanda, saya mencoba melihat negara tempat saya tinggal. Bagaimana di Belanda? Bohong kalau dikatakan tidak ada korupsi di Eropa. Manusia di mana-mana tetap manusia. Kalau ada peluang untuk memanipulasi sesuatu, maka manusia cenderung tergoda. Karena itulah manusia disebut manusia, bukan malaikat.
Beberapa kali saya harus ke kantor walikota di kota tempat saya tinggal di Belanda Utara, untuk mengurus dokumen penting. Untuk pengurusan surat-surat yang harus dibayar dan tidak perlu dibayar, aturannya jelas. Jika urusan selesai, saya tanya berapa ongkosnya. Mereka tinggal menunjuk biaya yang tercantum resmi hitam di atas putih, juga bisa dicek di internet. Jika tidak perlu dibayar, mereka menggeleng dan bilang tidak perlu dibayar. Saya bilang terima kasih. Urusan selesai, dan pulang.
Saya tidak perlu membayar biaya-biaya ekstra tak terduga kepada pegawai-pegawai pemerintah Belanda itu. Tidak ada pungli. Tidak soal apakah Anda milyuner atau rakyat biasa, ongkos pengurusan segala sesuatu, jelas aturannya. Berlaku sama bagi setiap orang.
Apakah ini artinya para pegawai Belanda itu orang-orang jujur? Apakah berarti mereka itu orang-orang beragama?
Yang betul adalah fakta, di Belanda hampir setiap penduduknya bisa disebut tidak beragama. Banyak orang Indonesia masih berpikir, Belanda itu penduduknya hampir semua Kristen. Padahal bisa dibilang sebagian besar orang Belanda tidak lagi percaya pada Tuhan dan agama. Yang beragama justru kaum pendatang, yang kebanyakan muslim Turki dan Maroko. Kalau orang Belanda tidak pungli dan tidak korupsi dalam pekerjaannya, itu tidak ada hubungannya dengan kelakuan jujur atau beragama. Bisa saja di rumah ada yang pembohong dan tukang selingkuh. Tapi itu soal pribadi. Namun lain cerita, jika menyangkut kinerja sebagai abdi negara.
Kuncinya, mungkin ada pada sistematisasi. Sistem bernegara dirancang sedemikian rupa. Sehingga orang yang punya niat korupsi pun mati langkah. Juga mati kutu. Sistem ini konsisten diberlakukan. Akhirnya tanpa disadari, mentalitas untuk tidak korupsi, telah dibentuk oleh SISTEM yang kuat. Celah dan lubang bagi manipulator, dengan cepat disumpal. Koruptor dan manipulator harus kreatif untuk bisa mencari celah. Hasilnya? Yang mau mencoba mencoleng, lebih sering kecele. Jadi kadang-kadang memang manusia harus dipaksa jujur. Terlebih jika menyangkut kinerja, demi kepentingan hidup jutaan rakyat. Ketika ajaran agama tidak mempan, optimalisasi hukum dan undang-undang difungsikan.
Mentalitas tanpa pungli dan tidak korup itu dijalankan bukan karena mereka percaya itu baik menurut agama. Bukan itu masalahnya. Juga bukan soal apakah gaji mereka gede atau kecil. Masalahnya cuma satu. Ini cuma masalah profesionalitas. Mereka tidak pungli dan tidak korup, karena takut dipecat dan masuk penjara. Titik. Takut sama Tuhan? Itu onzin (omong kosong), kata orang Belanda. Kedengaran menyedihkan mungkin. Orang lebih percaya pada hukuman di dunia daripada hukuman di akhirat. Soalnya hukuman di dunia sudah jelas. Ada di depan mata. Efek jeranya memang nyata. Bukan seolah-olah di sel tahanan, tapi nyatanya bisa pergi berlibur.

Sistem yang ketat di Belanda untuk menangkal korupsi, terbentuk bukan karena orang-orangnya bermoral luhur. Tapi justru lahir dari ketidak-becusan di masa lalu. Namun kesalahan di masa lalu, didaur-ulang menjadi pengalaman berharga. Korupsi di masa lampau dipelajari, dianalisis di mana letak kesalahannya, lalu dicari metode pemberantasannya. Ada kesungguhan untuk memberantasnya. Bukan cuma kesungguhan, tapi rasa tanggung jawab dari tim pengelola negara. Juga disertai nyali untuk menebas orang yang mau main-main dengan urusan bernegara.
Sehingga lahirlah sistem efektif untuk mengantisipasi korupsi. Sifat negatif manusia yang mudah tergoda oleh hal korup manipulatif, tidak disangkal dengan “retorika kebaikan palsu”. Anda manusia, kita manusia, mereka manusia, sama-sama punya sisi buruk sebagai manusia. Itu tidak bisa disangkal. Sifat jelek diri sendiri itu diakui, karenanya diamputasi dengan penegakan hukum. Manusia bisa menjadi baik, atau menjadi buruk, kadang ditunjang juga seberapa serius sistem hukum dan tata sosial itu dibenahi.
Kalau keseriusan dan nyali saja belum cukup, maka mungkin senjata pamungkasnya adalah berani berkorban. Bukan cuma berani menolak transaksi, tukar guling, dan tawar menawar politik. Bukan cuma berani mencabut pistol dari pinggang, mengokang senjata ke jidat koruptor, lalu menyeretnya ke pengadilan.
Bukan sekedar nyali ala cowboy. Tapi juga berani menelan risiko melayangnya tahta empuk, akibat memberantas korupsi. Setidaknya begitu harapan rakyat. Masalahnya, semudah itukah menolak menggiurkannya godaan kekuasaan?
Kesejatian seorang pemimpin terletak pada kerelaannya maju sebagai martir. Ini jauh lebih terhormat dibanding menunggu bangkitnya nyali rakyat yang mendidih, dan berakibat terjengkangnya penguasa dari kursi amanahnya.
Kehidupan manusia terlalu berharga untuk dihancurkan oleh benalu korupsi yang menghancurkan dan membinasakan segalanya. Sekali lagi...segalanya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari Sabang sampai Merauke. Kas negara yang menguap trilyunan rupiah, berakibat kemiskinan menjadi warisan turun termurun, pembangunan macet karena negara bangkrut, hanyalah sebagian kecil dari dampak itu.
Saya tidak pernah percaya, bahwa kemelaratan adalah hal pantas bagi rakyat kecil di tengah kekayaan alamnya. Sistem korup telah membuat berbagai kekayaan alam itu, sampai detik ini terus dihisap oleh pihak asing. Kesengsaraan rakyat, sama saja dengan ayam yang kelaparan di atas lumbung padi. Kejamnya, akibat ini tidak lagi disadari oleh sebagian besar orang. Masih banyak yang “menyalak” kepada orang yang mencoba menggugat korupnya penguasa, di balik alasan nasionalisme.
Korupsi bisa terjadi di mana saja. Tidak peduli negara berkembang atau negara maju. Tidak peduli orang Indonesia, Belanda, Amerika, Cina atau orang Arab. Manusia bukan nabi. Tapi dengan pengaturan sistem yang baik dan ketat, manusia bisa saja terinspirasi oleh sifat-sifat kenabian, walau orang itu atheis sekalipun.


Walentina Waluyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar